Daniel Anggria, atau biasa dikenal dengan, Daniel Natjaard, merupakan seorang pria kelahiran 21 Juli 1978. Sejauh yang saya ketahui, saya mengenalnya berkat beberapa rilisan-rilisan di laman Bandcampnya yang banyak menarik perhatian. Hal ini lantaran Daniel sendiri bisa terbilang “produktif” dalam memproduksi karya-karyanya, baik secara personal (one-man band) atau pun dalam band. Project-project tersebut antara lain: Somberfrost, Hordavinthra, Natjaard, Hailsail, Nevertale, Nailed, dan yang baru-baru ini saya temukan adalah, Bloody Pig, yang berkolaborasi dengan Yayan Butcher.
Selain dari itu, melansir dalam laman Metal Archive, Daniel juga aktif di Chaosophia mengisi pada gitar; band ini berdasar yang saya ketahui merupakan kolaborasi musisi-musisi Black Metal Indonesia, antara lain: Riv (Sickhopath), Daniel Natjaard, Azerath, dan Raha (vocalist dari Nothorn dan Calvarium). Beberapa yang aktif juga saya temukan, dan bisa terbilang banyak. Daniel juga merupakan ex-member dari Dry, Severity, dan Thirsty Blood. Selain aktif dalam band dan one-man band, Daniel, juga hadir mengisi session pada: Glora Nexus – Spiritual Havoc (Single - 2019, vocals), Rajam – The Jackals Regiment (2015, drum), Sickles – Series Elite Disaster (EP – 2014, orchestration – track 7), Siksa Kubur – Mazmur: 187 (keyboards – track: 5; 6; & 7), dan Thirsty Blood – In the Land of Java (vocals, track: 1 & 7).
Hal yang menjadi daya tarik saya sendiri sebenarnya ada pada 2 project solo-nya, yakni: Natjaard dan Somberfrost. Walau pun secara keseluruhan semuanya menarik dan cocok untuk diulik, tapi agaknya jika semua dimasukkan ke dalam 1 artikel ini tentu akan terlalu panjang. Sehingga saya tentukan untuk membuat 2 versi terbaik dari saya, dan 1 dari ke-2 saya tentukan sebagai pembahasan utama artikel ini.
Natjaard memiliki
komposisi musik Black Metal dengan nuansa athmosperic yang kuat, terutama
pada album pertamanya dengan judul “Autumn Obscursia” yang mana pada setiap
gugusan-gugusan lagu-lagu sebagai fondasi pada albumnya; memadukan tremolo picking
gitar yang menyayat, sementara bassline beserta pattern drum yang
tidak monoton dan membangun; sehingga bagi saya sendiri album ini tidak
membosankan dan kaya akan variasi. Nada-nada yang terkandung juga seakan
berkaitan satu sama lain, dan ya album ini sangat cocok untuk didengarkan
secara keseluruhan. Untuk track terbaik ada pada track dengan
judul yang sama dengan album ini sendiri. Sekilas selain memiliki unsur athmosperic,
track ini juga memiliki unsur melodic ala-ala Dissection, pun
gugusan-gugusan lagu lain yang terkandung pada album ini.
Kemudian, untuk Somberfrost sendiri merupakan project yang terbilang jauh lebih menarik bagi saya pribadi di antara yang lainnya setelah Natjaard, hal ini mengacu pada album pertamanya yang berjudul “The Untold Fairy Lullabies”, yang memiliki unsur ambient, symphony, dan folk; juga siapa sangka pada akhirnya album ini berhasil dinobatkan sebagai salah satu album Dungeon Synth pertama di Indonesia? Ya, sebenarnya secara jujur artikel kali ini merupakan sebuah kelanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul “Menelusuri Jejak Dungeon Synth di Indonesia.” Berlanjut setelah album pertama rilis, pada 20 Mei 2022 kemarin, Somberfrost merilis single-nya yang berjudul “Dreaming of Jade”, siapa sangka pada single kali ini agak bertolak belakang dengan album perdananya yang mengusung tema dan nuansa medieval yang kental menuju eksperimentasi musik yang lebih folk ala-ala chinese, seperti yang terdapat pada single sebelumnya yang mengusung tema ala-ala chinese/oriental, dengan judul "The Black Lotus."
Kemudian, 2 Juni 2022 lalu, Somberfrost yang di baliknya adalah, Daniel,
kembali membuat single yang merupakan aransemen ulang dari lagunya
Makam, berjudul “Manikmaya Marionette”, lebih lagi pada kali ini unsur
eksperimentasinya semakin berkembang; perpaduan antara gamelan-gamelan Jawa,
beserta paduan vocal yang nampak lebih seperti “bercerita” dengan intonasi
tegas, juga lantunan sindenan yang membuat musik ini semakin kuat akan unsur folk,
yang pada akhirnya disesuaikan dengan kebudayaan apa yang berusaha diangkat
oleh jenius ini. Berbeda dengan versi aslinya yang lebih nge-black, versi
kali ini benar-benar disesuaikan dengan ciri khas dan karakteristik yang diusung
Somberfrost, dan membuat nuansa, suasana, yang lebih epik lagi.
Artikel kali ini juga disusun berdasarkan kegundah-gulanaan saya pribadi untuk mengenal lebih jauh Daniel Natjaard, sebagai orang yang bisa dibilang “salah satu yang berpengaruh” dalam menggoreskan guratan tintanya dalam sejarah Black Metal di Indonesia. Selain dari saya pribadi, banyak dari kawan-kawan yang meminta untuk membuat sesi wawancara ini. Karena, ya, bukan bermaksud “meninggikan” akan kehadiran media yang baru saja saya rintis ini; sejauh yang saya tahu, artikel yang membahas mengenai Dungeon Synth secara luas agaknya memang baru ada di Blog ini, pun harap saya akan adanya artikel-artikel lain yang dapat menjadi sumber acuan kongkrit terkait pergerakan ini. Situs lain yang membahas Dungeon Synth utamanya di Indonesia, setau saya baru ada di Siasat Partikelir yang membahas Sayiba dari Kelelawar Malam, dengan project Gloom Wonderer-nya. Mungkin kedepannya juga jika ada suatu kesempatan, dan keberuntungan, akan ada banyak hal yang ingin saya bicarakan, atau mungkin lagi akan mewawancarainya dan terbit sebagai edisi khusus sebagaimana pula kelanjutan dari ini. Sementara dari itu terdapat pembahasan yang lebih “lugas” mengenai rekomendasi album Dungeon Synth Indonesia, terdapat dalam artikel di laman Indonesian’s Most Wanted yang juga diselingi dengan beberapa rilisan luar. Juga konten dari Abah Supriyatno dalam channel pribadinya yang mengulas sekilas mengenai Indonesian Dungeon Synth. Kembali lagi, pada dasarnya ini bukanlah sebuah kompetisi mengenai siapa yang paling berpengaruh; akan tetapi mengenai bagaimana kita saling membangun pergerakan kecil ini!
Sepertinya sudah cukup rasanya saya mengawali artikel ini dengan perkenalan yang “mungkin” cukup panjang. Kali ini saya berkesempatan berbincang-bincang dengan Daniel Natjaard, seorang yang saya rasa family dan friendly bisa membuat siapa saja dapat tersihir ketika menyisihkan waktu untuk sekadar berbincang atau saling bertukar balasan pesan teks melalui WhatsApp. Pertanyaan mengenai: mengapa, dan bagaimana; seorang Daniel bisa membuat salah satu karya yang menjadi parameter utama pergerakan paling awal Dungeon Synth di Indonesia, sepertinya akan terjawab pada sesi wawancara saya bersama beliau. Wawancara ini berlangsung melalui media WhatsApp, yang mana saya sendiri jaraknya terpaut cukup jauh dengan beliau, sehingga cara ini saya gunakan sebagai, ya, “setidak-nya” menjadi alternatif, dalam mengumpulkan sumber dari narasumber.
Apa saja kesibukkan Mas
Daniel sekarang ini? Secara kehidupan pribadi, dan khususnya yang berkaitan
dengan musik? Mengingat Mas Daniel sendiri memiliki laman personal Bandcamp
yang berisikan project-project yang terbilang menarik; dan bagaimana
memprioritaskannya?
Aktivitas sehari-hari,
kurang lebih sama kayak teman-teman lain pada umumnya. Saya, bekerja di sebuah
perusahaan kecil, yang ada jam kantornya. Hanya di saat-saat tertentu, saya
(baru) bisa menyelesaikan pekerjaan saya tanpa harus ke kantor. Kenapa saya
bekerja di sini? Alasannya simpel: karena gak perlu potong rambut dan nyopot
aksesoris-aksesoris di seluruh badan.
Di luar jam tersebut,
biasanya saya menemani anak-anak bermain, bikin sesuatu, nonton film, atau pun
bersenda gurau berlama-lama dengan anak-anak saya. Lainnya dengan versi berbulu
(Kucing). Baru bisa masuk studio, atau pun menyentuh alat-alat musik, setelah
pihak-pihak lain yang ada di rumah (keluarga) sudah slow dengan
kegiatannya masing-masing, (yang) mayoritas memang malam hari selepas jam 9
atau jam 10; atau sore hari waktu anak-anak tidur.
Hampir gak ada prioritas
sih (untuk project), karena semuanya buat saya memang diseriusin. Jadi,
kembali pada mood saja, disaat tersebut mau nyentuh yang mana dulu. Yang
sekiranya materinya lebih banyak kuantitasnya nanti, baru diutamakan untuk
rilis lebih duluan.
Berkaitan dengan ini,
dari sekian banyaknya project musik, apa ada kiranya yang menjadi
favorit? Ohiya, dengar-dengar dari kawan saya, Valerian juga mau buat album
nih, untuk progress-nya sudah sejauh mana?
Hampir gak ada yang (jadi)
favorit dari project-project-ku. Kurang lebih, semuanya saya favoritkan,
dan digarap dengan sepenuh hati. Walau pun dibumbui dengan segala keterbatasan
dan kekhilafan; baik waktu, kemampuan, mau pun tenaga; dan tentunya modal! Hanya
saja, memang ada 1-2 project yang pada hakikatnya (oleh) saya dibuat dengan
tujuan untuk refresh dan bersenang-senang saja, tanpa ada itikad lebih
lanjut dan terarah. Contohnya yang Darkadencia. Khusus project tersebut
memang saya buat semaunya, seadanya, dan tanpa keinginan apa pun selain
merealisasikan hasil pikiran jadi lagu beneran.
(Sementara)Valerian sampai
hari ini sudah merampungkan 9 lagu, dan baru 2 di antaranya yang sudah
menjalani treatment mixing-mastering. Orientasinya memang full length
album kedua, tanpa ada target jadwal rilis tahun ini atau sesudahnya.
Dari sekian banyak
projectnya Mas Daniel, yang saat ini tengah menjadi sorotan yakni yang Somberfrost. Kebetulan saya juga
mendiskusikan perihal ini dengan kawan-kawan Dungeon Synth Indonesia, dan
sampai pada "sepakat" jika Somberfrost masuk dalam klasifikasi
Dungeon Synth. Nah, tanggapan mas Daniel terhadap ini bagaimana? Soalnya
kebetulan juga skena Dungeon Synth Indonesia tengah berkembang pada paruh
2020-an ke atas.
Berkembangnya Dungeon
Synth yang cukup marak dan cepat pada 2 tahun terakhir ini, untuk saya pribadi
memang cukup “menggembirakan.” Militansi teman-teman yang merilis album-album-nya
secara digital mau pun fisik, saya acungi jempol dan angkat topi. Mengingat
industri musik domestik “mungkin” juga baru mengenal istilah ini, dan tidak
menutup kemungkinan salah satu (kalo bisa semuanya) dari teman-teman penganut
Dungeon Synth ini nantinya akan berkibar lebih jauh ke depan dengan membawa
konsep ini.
Untuk pengklasifikasian
Somberfrost ke dalam musik ini, (sebetulnya) saya gak ada masalah, dan kurang
lebih juga turut mengamini. Walau pun sejatinya saya juga gak yakin (jika) Somberfrost
ini ‘bisa’ digariskan sebagai Dungeon Synth atau nggak, karena pada awalnya dan
pada dasarnya, saya membuatnya hanya (berbekal) modal tekad, dan obsesi menderu-deru
untuk mewujudkan proses berorkestrasi sendirian.
Selebihnya, nanti, (baik
itu) jenis mau pun warna musiknya, hendak dikategorikan ke mana, kembali pada
pendengar, pendukung, mau pun pengamat yang sekiranya turut mengapresiasi hasil
kerja saya. Dalam hal ini khususnya Somberfrost.
Dari kacamata Mas Daniel
sendiri, apa ada ada project yang persis dan seangkatan dengan Somberfrost? (Dalam
hal ini: ruang lingkup lokal)
Kalo yang seangkatan,
sepengetahuan saya memang belum nemu yang “segandengan” untuk musik seperti ini
ketika saya memulai debutnya di tahun 2014. Cuman, kalo mau dirunut sebelum-sebelum
ini, saya sudah memulai eksperimen one-man orchestration di tahun 2002.
Bermodalkan tape deck double cassette dan cable jack & mic dynamic,
waktu didaulat untuk menjadi satu-satunya pengisi theme song sama soundtrack
untuk salah satu film pendek besutan teman saya. Tahun-tahun segitu, referensi
yang saya ambil kurang lebih berkat mendengarkan Godflesh, Pitch Shifter, Optimum
Wound Profile, Mortiis, sama Sopor Aeternus.
Tapi cikal bakal musik
ini, untuk lingkup domestik, seingat saya, kayaknya sudah dipelopori duluan
oleh orang-orang gila dari Sic Minded di pertengahan '90 menjelang 2000. Band project-nya
Rudi Soedjarwo, walau pun konsepnya duo-man band. Kalau di pendengaran
saya, ranah materinya kurang lebih juga sedikit banyak mengarah ke sini, walau pun
memang mayoritas lebih condong ke Industrial Metal.
Gak tau lagi. Mungkin
teman-teman yang lain juga ada yang menemukan, atau mengetahui referensi lain
akan cikal bakal atau pendahulu jenis musik yang saat ini kita jalani.
(Dilihat dari sepak
terjang Mas Daniel sepertinya memang sudah lama ya menggeluti dunia musik instrumental.
Gak heran saya rasa jika Somberfrost layak masuk salah satu project di
Indonesia (pada) periode awal yang masuk klasifikasi Dungeon Synth. Dan untuk
referensinya sendiri jika saya lihat salah satunya ada Mortiis yang sudah jelas
mengarah ke Dungeon Synth hehe...) Untuk soundtrack film pendek ini apa dapat
ditemukan di channel YouTubenya Mas Daniel?
Lhaaa ini... judul
filmnya “Lain Dunia.” Di channel YouTube saya gak ada, karena master
filmnya memang dipegang sama pak “Sutra-Udara.” Saya dapet copy-nya
berupa VCD, tapi platnya sudah aus dan... wassalam... gak bisa diputar
lagi.
Siapa yang menjadi
inspirasi (Mas Daniel) dalam membuat album
Somberfrost - The Untold Faity Lullabies? Dan barangkali bisa
diceritakan juga bagaimana lika-liku awal Mas Daniel memperkenalkan Somberfrost
dengan stigma "umum" terhadap musik yang kaya akan instrumentalisasi ini;
baik respon dari kawan-kawan skena Black Metal/khalayak umum.
Somberfrost ini pada
dasarnya memang baru kepikiran tak (di)seriusi, setelah kongkow ngopi-ngopi bareng
kolektor CD, DVD, penikmat audiophille, dan teman-teman pengrajin flat
speaker, khususnya di Surabaya. Itu seingat saya di tahun 2012. Dari situ,
saya yang pada dasarnya memang menyukai musik scoring, orkestrasi, juga
lagu-lagu instrumental, punya satu keinginan (yang) sedikit nekad, untuk
mewujudkan “materi” musik instrumental ciptaan sendiri. Walau pun akhirnya baru
bisa diselenggarakan memulainya pada tahun 2014.
Asupan yang saya dengerin
ketika itu, mungkin kebanyakan juga referensi umum yang didengarkan teman-teman
lain, macam lagu-lagunya: Andrew Lloyd Webber di film Phantom of the Opera,
karya-karya gilanya Hans Zimmer di film Pirates of the Caribbean, lagu-lagu
dari Enya, Kitaro, Yanni, Audio Machine, Brunuhville, Adrian Von Ziegler, Antti
Martikainen, lagu-lagu instrumental dari David Benoit, dan gak lupa kandungan
gizi mujarab dari instrumentalis dalam negeri, Pakde Idris Sardi.
Niat hati hendak
menghasilkan karya dengan kualitas suara mencekam dan miyak-miyak, apa daya;
kemampuan mixing dan mastering ala-kadarnya, dengan hardware
maupun software seadanya. Maka lahirlah album perdana Somberfrost tersebut.
Tujuan pendengarnya sebenarnya memang bukan ke teman-teman dalam lingkup “musik
keras”, tapi lebih ke telinga khalayak umum, penikmat musik instrumental, juga
kalangan sendiri yang aktif memberikan apresiasi dan support terhadap
karya saya.
***
“Musik dengan komposisi instrumental yang dominan, memiliki nilai dan daya tarik tersendiri. Selain dari esensi tersebut, musik instrumental memiliki kerumitan yang cukup kompleks, karena pada dasarnya pembuat musik ini memiliki misi/tujuan untuk mengembangkan dan membangun suatu suasana yang dibuat dengan komponen instrumental yang kuat, dalam memanifestasikan suatu peristiwa yang berusaha ia jabarkan.” (Kesimpulan sesi wawancara bersama Daniel Natjaard. Pada 30/06/2022)
Penulis: Muhammad Rafi
Akbar
Komentar
Posting Komentar