Menelusuri Jejak Dungeon Synth di Indonesia


Black Metal sebagai salah satu dari sekian banyak sub-genre extreme dalam musik metal, memiliki berbagai sub-genre tersendiri. Banyak di antaranya yang mengasosiasikan genre tersebut dengan suatu penyakit mental, ideologi, kekejaman, perang, panorama, dan lainnya. Dengan hal ini pula, maka tidak aneh jika Black Metal memiliki keberagaman dari sub-genre-nya. Yang jika kita ambil berdasarkan pandangan umum, kita akan mengenali Black Metal sebagai salah satu musik extreame dalam skena metal yang melambangkan bentuk penyimpangan dan penistaan terhadap agama. Ya, itulah jika kita berpandangan terhadap pandangan umum, karena memang secara mayoritas itu bisa dibenarkan.

Namun, ada satu hal yang menarik dari sekian banyaknya sub-genre dari Black Metal, yakni Dungeon Synth. Keberadaannya barangkali memang masih sangat tabu bagi orang awam. Namun, bukan berarti dapat disepelekan. Dungeon Synth sendiri pada awalnya lebih dominan digunakan sebagai intro atau outro pada suatu album, terkhusus untuk genre Black Metal. Tapi, agaknya selain digunakan sebagai selipan pada suatu album, Dungeon Synth mulai memantapkan diri sebagai sub-genre yang bisa dibilang “mandiri.” Musik dari Dungeon Synth sendiri cenderung mengarah pada tema medieval, fantasy, suasana athmosperic, dark ambient, sedikit bumbu folk, instrumental dan secara umum memainkan peran dominan synth sebagai media utama.

Sebagaimana periode awal Dungeon Synth yang masih banyak menggunakan media analog, dengan perkembangan zaman yang secara stagnan banyak membawa perubahan dan kemudahan terutama dalam dunia musik, media analog sudah bukan menjadi pilihan terutama dalam efisiensi. Lahirnya media digital terkhusus penggunaan DAW dan Midi, mulai mendominasi rilisan-rilisan tahun berikutnya dalam perekaman album. Namun, masih banyak juga agaknya yang masih menggunakan media analog sebagai sarana. Peminat old-school juga masih banyak dan biasanya identik sebagai pecinta pure

Lahirnya Dungeon Synth

Mengikuti arus perkembangan dunia musik, Dungen Synth mulai memantapkan diri sebagai sub-genre yang mandiri, dan tidak terikat hanya sebagai intro mau pun outro. Kita bisa tarik dari periode akhir 1980-an dan awal 1990-an, yang mana pelopor dari genre ini sebenarnya tidak jauh juga dari para pemain dari skena Black Metal. Sebut saja di antaranya yang populer ialah: Mortiis dari Emperor, dan Varg dengan project one man Burzum-nya, yang bisa dikatakan sebagai salah satu pelopor utama dalam pergerakan ini. 


Tema medieval dan kombinasi antara dark ambient beserta synth setidaknya menjadi bahan pokok utama Dungeon Synth era awal. Seperti yang bisa kita temukan pada lagu-lagu yang ada pada album Depressive Silence - Depressive Silence II dan Mortiis - Født til å Herske. Namun tidak hanya itu, permainan musik folk juga mulai diperkenalkan secara pasti oleh Burzum, sebagaimana yang ada pada album Dauði Baldrs. Tidak hanya itu, perpaduan antara folk dan neo-classical juga bisa dikatan sebagai ciri lain, seperti yang bisa kita temui pada album-album Fief. Barangkali jika kita mengacu pada project Dungeon Synth dari luar, itulah beberapa di antara sekian banyaknya. 

Dalam hal lain pula di luar esensitas musik itu sendiri, sering kali kita temui pada cover art album-album Dungeon Synth yang cenderung banyak bertemakan abad pertengahan, karena ini pula merupakan bagian dari produk-nya. 

Kemunculan Awal Dungeon Synth di Indonesia


Sulit memang jika mana kita menentukan pada periode mana kemunculan Dungeon Synth di Indonesia. Karena memang genre musik ini masih dikatakan sebagai genre minoritas di tengah membludaknya peminat genre Death Metal dan Black Metal. Namun, perlu kita garis bawahi sebuah awalan baru yang mana bisa kita katakan sebagai titik awal dari perkembangan musik Dungeon Synth di Indonesia. Hal ini sedikit saya diskusikan dengan kawan online saya dalam skena Dungeon Synth Indonesia, sebut saja, Dewa. Dimana kita menyepakati jika Somberfost pada albumnya yang berjudul The Untold Fairy Lullabies, jika kita mengacu pada laman Bandcamp-ya, album ini direkam pada tahun 2016 dan dirilis pada tahun 2020, sebagai album yang bisa dikatakan mengarah pada Dungeon Synth. Pendiri project ini bernama Daniel, dia sendiri masih merupakan pelaku dalam skena Black Metal, juga merupakan seorang personil dalam salah satu band bernama Natjaard. Pada albumnya dengan judul The Untold Fairy Lullabies ini, meski memang tidak dia melabeli dirinya sebagai Dungeon Synth, saya rasa dalam lagu-lagunya memang terkandung unsur-unsur permainan synth yang kuat, dan malah lebih lagi saya rasakan ini merupakan Dungeon Synth! 


Pada album ini memang unsur folk dan Shymponic-nya tidak dapat di-elakan lagi, tapi inilah yang menjadi pokok utama bahwa periode pergerakan Dungeon Synth yang saya bahas di sini tidaklah dapat diasosiasikan murni sebagai “dungeon”, namun hasil dari akulturasi pelbagai jenis musik yang bisa saya sebut medieval, neo-classical, folk, ambient, dan symphonic. Dan ini hanyalah merupakan titik awal yang perlu saya tandai sebagai ‘cikal bakal Dungeon Synth di Indonesia. Karena memang agak sulit juga ketika saya menelusuri berbagai project Dungeon Synth yang bisa dikatakan sebagai ‘cikal bakal ini’, maka dari itu, agaknya Somberfost bisa dikatakan sebagai penanda awal dari pergerakan Dungeon Synth di Indonesia. 

Gelombang Besar Dungeon Synth di Indonesia

Setelah mengacu pada bagaimana ‘cikal bakal’ atau ‘titik mula’ pergerakan Dungeon Synth di Indonesia. Kali ini kita telah sampai pada pembahasan dimana gelombang ‘besar’ Dungeon Synth di Indonesia dimulai. Gelombang ini bisa kita tarik kesimpulannya dari periode 2020 ke atas, dimana Dungeon Synth di Indonesia mulai banyak bermunculan. 


Sebut saja salah satu di antaranya ialah Gloom Wanderer yang merilis albumnya pada tahun 2020 dengan judul Pathway to the Unknown. Pendiri dari project ini sendiri bernama, Sayiba Bajumi, personil yang merambat sebagai vocalis dan gitaris dari Kelelawar Malam, band Horror Punk dari Indonesia. Sedikit menarik mengenai Gloom Wonderer yang digawangi oleh orang yang rasanya cukup dikenal banyak orang dalam skena musik bawah tanah Indonesia. Permainan musiknya secara khusus sudah mengarah pada Dungeon Synth, dan menurut pengakuannya dalam salah satu artikel yang saya muat dari laman Siasat Partikelir, jika dia memang terinspirasi oleh game RPG. Jika kita perhatikan, memang Dungeon Synth sendiri erat kaitannya dengan dunia RPG, dan dengan bagaimana dunia fantasy tersebut dibentuk.  


Menanggapi hal ini, haram rasanya bagi saya sendiri jika tidak menyebutkan pelbagai project lain yang turut mewarnai skena Dungeon Synth di Indonesia, sebut saja: Vitne Tomheten, Fraudort, Alisamasih, Ancient Book, Le’Vampyric, Dahulagiri, Lulana, Svardans, Baggins Hole, Marma, Dødsaang dan Great Mercenary. Ini bisa dikatakan sebagai gelombang besar selama periode 2020-an ke atas, dan merupakan titik baru dari perkembangannya.

Beberapa mungkin ada yang tidak saya sebutkan, karena keterbatasan informasi. Tapi agaknya itulah di antaranya project Dungeon Synth di Indonesia, yang meski pun terlihat dalam skala micro di antara berbagai perkembangan genre musik lain, Dungeon Synth Indonesia sebenarnya sudah mulai mengepakkan sayapnya secara perlahan. 

Penulis: Muhammad Rafi Akbar

Komentar